Biskota bagi beberapa orang mungkin
bukanlah hal yang berarti banyak bagi kehidupan mereka, bahkan beberapa
bismania pun jarang yang “melirik” bus kota. Apalagi bus kota jadul dengan body
yang sudah usang. Tapi tidak bagi saya. Secara khusus terhadap bus kota
Mayasari Patas 9 Pondokgede-Pasarbaru. P9 (singkatan Patas 9) memiliki arti
khusus dalam hidup saya.
Dimulai saat saya kecil (kalau ga salah tahun 1992an) ada bis Mayasari yang
ngetem di terminal Pondokgede lama (sekarang jadi hypermarket), bis tersebut
adalah P9. Dengan bis tersebutlah ayah dan ibu saya pergi menuju kantor mereka
masing-masing di BPKP Pramuka dan NISP Gunung Sahari. Kadang saya suka diajak
ikut ibu saya bekerja, otomatis P9 kami naiki.
Tidak lama berpangkalan di terminal Pondokgede, P9 tergeser ke pemancingan
Puspita (sekarang samping Halim Futsal). Pergeseran P9 tidak hanya sampai
disitu, dengan dibukanya terminal Pinangranti maka bis-bis yang berpangkalan di
pemancingan Puspita (diantaranya Gunung Mulia, Giri Indah merah dan berbagai
bus Wonogirian) termasuk P9 dipindahkan ke terminal Pinangranti.
Banyak cerita yang sering diceritakan ibu saya soal P9. Mulai peminatnya yang
banyak (waktu itu), menunggu P9 di Garuda (sekarang Tamini Square) padahal
pangkalannya masih di Puspita sampai cerita lucu saat menunggu P9. Bagi saya
kecil P9 memiliki arti sebagai pengantar saya ke kantor ayah. Saya kecil juga
sempat rutin menggunakan P9 saat “ikut” ayah ngekost di Utan Kayu sedangkan
sekolah di Skadron Halim. Sebenarnya ada moda transport lain yang bisa
mengantar saya ke sekolah, yaitu PPD 41A (waktu itu menggunakan body baru
Delima Jaya, mesin Nisan CB) dan juga si jangkung PPD bis tingkat (lupa nomor
trayeknya). Namun entah mengapa saya lebih tertarik naik P9 (awal jatuh cinta
mungkin). Waktu itu tahun 1998, pasca kerusuhan. Keadaan di Jakarta kurang aman
dan nyaman. Isi dari P9 waktu itu anak STM (baik Boedoet, KR maupun Israel),
namun mereka tidak mengganggu penumpang P9 termasuk saya yang berseragam SMP.
P9 sempat mati suri, antara tahun 2000-2001. Waktu itu terasa banget susahnya
tidak ada P9. Saya ketika itu akan ke Gambir untuk naik Gajayana ke Malang.
Melewati terminal Pinangranti tidak ada bus hijau berlambang Bola Voli
Bersayap. Saya lanjut ke UKI. Dari UKI saya naik Metromini AC Cilengsi Senen
berbody RS Euroliner. Dari Senen mesti naik lagi metromini. Sangat tidak
praktis.
Tahun 2001 P9 kembali hadir melayani warga Pondokgede. P9 bahkan sempat
mengalami masa jaya dengan diperkuat 12 mobil, dengan selah (head away) 15
menit antar bis. Cerita dari mantan kru yang mengalami masa itu, P9 sering
“main” alias kejar-kejaran antar bis (saya membayangkan seperti yang ada d
P9A). Ah sayang saya belum “jadian” dengan P9 di masa itu.
P9 mulai mengalami tren menurun ketika ada busway koridor 7 sekitar 2008.
Karena penumpang pindah ke Busway?? Disini saya tegaskan TIDAK!! Melainkan
karena banyak sopir P9 yng pindah ke busway. Sampai sekarang kalau saya bertemu
dengan eks penumpang P9 di transjakarta mereka tetap mengharapakan P9 kembali
hadir. Lebih murah, cepat dan praktis itu alasan mereka.
Saya mulai bercinta mesra dengan P9 sekitar 2008. Ketika itu saya tiap hari
naik P9 karena menjemput pacar saya magang di BPKP Pramuka. Intensitas naik P9
membuat saya makin jatuh hati (“puber” kedua setelah periode 1998). Suatu
peristiwa membuat saya makin akrab dengan P9. Ketika itu (kalau ga salah Jumat
20 Agustus 2008) saya dan pacar menunggu P9 di seberang BPKP. Jam sudah
menunjukan pukul 17:45 (biasanya jam 17:30 sudah ada P9 muncul), kami sedikit
gelisah. Jam menunjukan 6 petang ketika ada 1 P9 berjalan diluar kebiasaan. Bis
itu berjalan sangat kencang dan zig zag. Tepat di depan kami ada 1 taksi
memepet P9 itu. Sang sopir keluar, dia marah-marah. Ternyata ada laka diantara
mereka. Entah mengapa saat itu saya langsung reflek membela P9 hingga sang
sopir taksi mau menyingkirkan bus nya.
“di depan minggir lo”, kata sang sopir taksi.
Taksi minggir, kami naik. Tapi P9 kami tidak berhenti melainkan langsung tancap
gas (hwakakak). Taksi terus mengejar, P9 kami pun ga kalah lincah zig-zag nya.
Sampai di kupingan fly over Pramuka taksi itu sukses memepet kami lagi. Entah
negosiasi apa yang terjadi (saya diatas, karena ditahan pacar supaya ga
ikut-ikutan ;-P). Taksi akhirnya menyerah. Pasca taksi menyerah, justru sopir
P9 kami jadi bulan-bulanan ibu-ibu yang duduk di mesin (mercy OF 1987). Bahkan
ada celetukan ibu-ibu tersebut yang membuat saya tertawa geli hingga sekarang;
“kasian Ed (Edy), udah tua tuh sopir”, ujar salah satu ibu.
“iya sampe gemeteran”, tanggap yang lain.
“sama-sama orang Padang lagi”, celetukan ibu yang membuat saya tertawa.
Ketika itu awal 2010, saya masih menganggur pasca lulus dari Kriminologi UI.
Saya rutin mengantar jemput pacar saya ke kantornya di Pasarbaru. Hubungan saya
dan P9 makin intim. Suatu ketika saya meminta ikut teriak diantara
Senen-Pasarbaru. Sensasi luar biasa bagi saya merasakan menjadi kernet.
Dan awal April 2010 hal itu terjadi, Pom Bensin Taman Mini, P9 no lambung C233
B7127PD mengantri isi solar di belakang Mayasari AC 70. Pei (si sopir, fb
Shafei Muhamad) turun. Entah apa yang ada di pikiran saya hingga saya berani
pindah ke kokpitnya. Dan entah apa yang ada di pikiran Pei ketika mengiyakan saya
memajukan bis nya. Rem tangan saya tarik, gigi 2 saya masukan (dengan panduan
Pei, maklum ga pernah nyetir Mercy hehe), gas saya injak tipis. Bis bergerak,
agak kasar. Sampai ke posisi pompa, gigi saya netralkan, rem kaki saya injak.
“rem tangan cuy”, kata Pei
Ada tuas dekat setir saya tarik, lho koq gada bunyi “ceesss”. Tuas tersebut
saya lepas, suara klakson menggelegar.
“itu klakson bro”, kata Pei disertai tawa tukang pompa bensin dan raut tegang
saya.
Itulah peristiwa saya “diperawani” mengemudikan bis sebelum akhirnya sempat
akrab dengan bis-bis generasi setelah OF mulai dari Mercy Intercooler 1997,
Mercy King 1995, Hino RG 2004an hingga R260 keluaran 2011. P9 lah yang
membimbing saya kesana.
Rasa cinta saya ke P9 semakin besar. Hal inilah yang membuat saya miris ketika
armada P9 dari hari ke hari semakin sedikit yang beroperasi. Mulai dari hanya
jalan 4 mobil, 3, 2, hingga hanya jalan 1 mobil.
“kurang kernet Ndre”, jelas Pei.
Hal ini membuat saya memiliki ide gila, saya mau jadi kru nya!!
Keinginan tersebut tidak serta merta terwujud. Pertengahan April 2010 jam 4
pagi saya dapat SMS dari Pei:
“mau kerja ga?”
“ngernet maksud lo?kapan?”
“sekarang, gua ga punya kernet”
DAMN!!! Pagi itu saya ada interview di salah satu TV swasta, saat itu pun saya
bersiap dengan pakaian rapi untuk menuju interview tersebut. Ajakan Pei dengan
berat hati saya tolak. Pagi itu saya naik P9 dengan kernet cabutan tukang ojek
terminal Pinangranti.
Penyesalan tersebut sangat mendalam, apalagi keesokan harinya Pei selalu ada
kernetnya. Sampai satu sore Edi (sopir yang racing vs taksi) dating ke bis nya
Pei.
“I besok gw pinjem mobil lo ya, mobil gw ga rapih2 di bengkel”
“oh ya udah, besok gw libur deh. Capek juga engkel 1 mobil 2 minggu”
Wah kesempatan buat saya ngernet. Malamnya saya SMS Edi
“Ed besok narik?”
“iya bro, kenapa?”
“udah punya kernet belum? saya mau dong ngernet”
“wah saya kadung ajak si Belo narik”
Dan sekali lagi saya kecewa gagal merasakan jadi kernet “professional”.
Pagi itu seperti biasa saya akan mengantar pacar saya bereangkat naik P9. Baru
saja akan mengunci pintu rumah, HP saya menerima panggilan. Dari Edi!!
“Ndre dimana?”
“baru mau ke Pinangranti”
“mau kerja ga?”
“lah bukannya udah ngajak Belo?”
“Belo saya telponin ga angkat2”
“oh ya udah. Tem berapa kita?” (saya lupa kalau hari itu Cuma ada 1 P9)
“ya tem satu2nya”
“trus bang Edi dmn?”
“ini udah di terminal, penumpang udah pada naik nih”
Langsung saya berganti pakaian dari kaos ke kemeja. Berangkat ke terminal.
Sampai di Pinangranti P9 kami sudah penuh. Pacar saya naik ke dalam. Edi
memberikan uang recehan kepada saya untuk kembalian. Saya sedikit tegang. Belum
hilang tegang saya, seorang penumpang langsung menghardik, “cepet naik, udah
siang nih!!” (wah ini tantangan jadi kernet, sabar sabar Ndre).
Saya naik. Satu dua penumpang masih bertambah hingga kami masuk tol Tamanmini.
Penumpang yang tadi kembali menghardik saya “cepet guntingin (tagih), keburu
keluar toll oh!!”. Saya makin tegang. Satu dua uang receh Rp 500 jatuh dari
tangan saya, saking tegangnya pacar saya tetap saya gunting!! Bahkan saya
gunting Rp 3000 dari seharusnya Rp 2500!!.
Banyak pelajaran yang saya dapat di hari pertama. Mulai dari soal cara
menggunting, dimana membayar “uang jalur” sampai soal copet (ga saya dapat di
bangku kuliah). Hari itu kami nanduk(mendapat pendapatan berlebih), sisa uang
setelah setoran dan solar masih ada Rp 270 ribu.
0 komentar:
Posting Komentar