Konon, ada seorang bapak bernama Datuk Banjir. Suatu ketika, saat hujan deras, Datuk menutup kepalanya dengan kain sarung. Dia dan kedua temannya naik di getek. Getek menurut KBBI adalah rakit. Rakit itu adalah kendaraan apung dibuat dari beberapa buluh (kayu) yg diikat berjajar dipakai untuk mengangkut barang atau orang di air. Bisa jadi saat itu, malam hari. Sebab, suasananya gelap. Atau juga sore hari menjelang malam. Datuk membiarkan geteknya berjalan sesuai arus air hujan. Arahnya bisa jadi tidak terkontrol. Sebab, arus air tidak berarturan. Tetapi yang pasti adalah arus air bergerak sesuai aliran air dari tempat tinggi ke rendah.
Datuk dan kedua temannya kaget. Geteknya tiba-tiba berhenti. Biasanya kalau perahu berhenti di tengah air laut, itu pertanda ada penghalang. Entah ikan, atau penghalang lain. Nah, kalau getek ini berhenti berarti ada penghalang. Anehnya, penghalang ini tidak ditemukan. Datuk mengambil galah dan membenamkan ke dasar air sehingga ia bisa menopang dan menggerakkan geteknya . Sekadar catatan tentang arti kata galah yaknitongkat yg panjang (dari bambu atau kayu dsb untuk menjolok buah-buahan, menolak perahu, menjemur pakaian, dsb. Dasar air tidak tersentuh sehingga Datuk tidak bisa menggerakkan geteknya. Kalau tidak ada penghalang mengapa getek berhenti?
Datuk mengira di sana ada lubang tempat persembunyian buaya. Menurut legenda itu, perkiraan Datuk benar. Dia mengecek ke sana dan terdapat sebuah lubang. Datuk memberi nama lubang itu Lubang Buaya. Padahal Datuk belum menemukan buaya di sekitar lubang itu. Apakah buaya bertahan dalam lubang ketika lubangnya tergenang air?
Legenda yang berkembang dari mulut ke mulut ini berkembang lagi. Ada seorang pria dari Cirebon. Pria yang dipangil H.Yusuf ini mengklaim dirinya sebagai keturunan Datuk Banjir. H.Yusuf bisa jadi menceritakan legenda ini kepada penduduk sekitar lubang buaya dan mereka percaya bahwa dia ini benar keturunan Datuk Banjir.
Mereka yang percaya ini datang ke sumur ini menjelang musim hujan. Menurut perkiraan waktu itu hujan datang bulan Oktober. Mereka menyelenggarakan ruwatan untuk meminta keselamatan dari ancaman banjir. Permintaan ini berkembang bukan hanya soal keselamatan dari banjir. Mereka juga meminta rezeki dan jodoh untuk anak gadis mereka. Permintaan ini disampaiakan kepada Datuk Banjir yang diyakini sebagai penguasa tempat itu. Maka, nama Datuk Banjir pun mereka hafal.
Legenda ini tanpa dilengkapi tahun. Agak sulit mengira situasinya saat itu. Bisa jadi legenda ini merupakan hasil imajinasi dan bukan sungguhan. Namun, agak sulit juga menilai demikian ketika ada keterangan dari H.Yusuf dari Cirebon. Seolah-olah kisah ini pernah terjadi. Perlu diadakan penelitian atau wawancara kepada masyarakat sekitar tentang tradisi ruwatan. Kalau mereka masih membuatnya berarti bisa jadi kisah ini sungguhan. Apalagi dalam legenda dikatakan ada masyarakat sekitar yang percaya.
Dalam sebuah buku ada cerita tentang nama Lubang Buaya. Dalam buku yang berjudulThe Jakarta Explorer itu dikisahkan bahwa lubang buaya merupakan sebuah desa terpencil di Jakarta Timur. Desa ini dikelilingi perkebunan karet produktif. Menurut buku yang disusun dari penelitian oleh kelompok-kelompok Explorer Society (Masyarakat Penjelajah) dan diterbitkan oleh Indonesian Heritage Society, 2001 ini, nama Lubang Buaya berasal dari legenda yang mengatakan ada sebuah buaya putih di sungai terdekat.
Apakah legenda ini berkaitan dengan legenda yang diceritakan tadi?
Kalau ada pembaca yang mempunyai sumber lain silakan menyumbang demi memperkaya pengetahuan tentang hal ini.
0 komentar:
Posting Komentar